Selasa, 28 Oktober 2008

Pergulatan : "Paket Lebaran Wartawan"

Saya pernah mengadakan survai di kalangan wartawan, mengenai "kode etik apa yang paling sering Anda langgar". Jawabannya sangat predictable, mudah diduga: "Menerima amplop". Di bawahnya berturut-turut "melanggar kesepakatan off the record" dan "berita harus berimbang". Alasan wartawan untuk pelanggaran "off the record", "Informasinya penting diketahui publik. Terpaksa kesepakatan saya langgar." Alasan menulis berita yang "tidak berimbang", "Narasumber sulit dikonfirmasi. Kalau menunggu imbang, kapan terbitnya?" Jawaban-jawaban yang cukup jujur dan masuk akal. Apa alasan wartawan menerima amplop? Sebagian besar menjawab, "Rejeki tak boleh ditolak." Jadi, di kalangan wartawan ada pendapat bahwa amplop adalah rejeki yang normal saja diterima. Tak beda dengan guru menerima bingkisan dari orangtua siswa, atau petugas kelurahan menerima tips setelah pengurusan surat-surat warga selesai. "Itu bukan suap, itu ucapan terimakasih," kata sebagian wartawan. Yang menarik, betapapun gigihnya organisasi wartawan menegakkan kode etiknya, selalu saja ada celah bagi wartawan yang "berburu rejeki". Para wartawan anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independen), misalnya, dengan mudah mengabaikan Pasal 14 dari Kode Etik mereka yang berbunyi: "Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan". Dalih mereka cukup bagus, "Yang saya terima ini ucapan terimakasih, bukan sogokan." Wartawan yang menganut Kode Etik Dewan Pers akan menjumpai Pasal 6 yang berbunyi: "Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap." Seperti kata "sogokan" dalam KE AJI, kata "suap" di KE Dewan Pers mudah disiasati dengan dalih "yang kami terima bukan suap ataupun sogokan." Sementara itu, pasal 4 KE Ikatan Jurnalis Televisi mengatakan, "Jurnalis televisi Indonesia tidak menerima imbalan apapun berkaitan dengan profesinya." "Imbalan apapun" ini berarti tak hanya uang/amplop, tetapi juga bolpoin atau payung suvenir, dan juga bingkisan lebaran. Namun wartawan "pemburu rejeki" akan berkata, "Bingkisan lebaran ini tak ada kaitannya dengan profesi/pekerjaan. Ini hanya ucapan Selamat Hari Raya." Menolak bingkisan lebaran bukan hal yang mudah bagi wartawan yang gajinya pas-pasan. Gaji wartawan memang belum mengalami kenaikan signifikan sejak tahun 1990-an. Sementara gaji guru sudah naik berkali-kali, bahkan secara drastis, gaji wartawan tetap jalan di tempat. Dalam kondisi seperti ini, sebuah bingkisan lebaran bisa dianggap "berkah" atau "rejeki di Hari Raya". Tentu, yang penting tak ada udang di balik batu, tak ada kepentingan- kepentingan terselubung di balik kiriman paket lebaran itu. Bila ada Gubernur atau Bupati menolak bingkisan lebaran, saya pikir lumrah saja. Mereka bisa membeli sendiri sebanyak apapun bingkisan yang mereka inginkan. Kalau bisa bahkan mereka harus memberikan bingkisan lebaran untuk rakyat, bukan rakyat (biasanya kalangan bisnis yang berkepentingan) yang mesti mengirim "upeti" berupa bingkisan Hari Raya yang super mahal. Akan halnya wartawan, jangankan membeli bingkisan lebaran untuk dibawa pulang, membeli beras dan gas kompor untuk memasak saja susah payah. Dalam kesulitan hidup belakangan ini, wartawan boleh dikata profesi yang paling jarang mengeluh: tidak pernah protes kepada majikan atau demo pada pemerintah. Sebagian besar gaji wartawan masih di bawah UMR, sebagian lagi tak bergaji, hanya diberi kartu pers dan disuruh oleh majikannya untuk mencari uang sendiri. Pasal 10 UU Pers yang mengatur perusahaan pers agar memperhatikan kesejahteraan karyawan/wartawanny a juga dengan tenang diabaikan oleh para pemilik perusahaan media. Perusahaan tak sanggup menggaji wartawan, apalagi mensejahterakan, namun perusahaan semacam ini jalan terus. Tak ada penalti dari pemerintah. Pada akhirnya semua kembali kepada hati nurani. Wartawan yang didera kesulitan hidup, tiba-tiba di rumah dikirimi bingkisan lebaran, dan melihat senyum cerah anak dan istri membukai bingkisan itu, tentu tak sempat berpikir panjang: "Apakah si pengirim punya maksud-maksud tertentu? Apakah dia punya skandal yang diharapkannya aku tidak meliputnya?" Sebaiknya kita chusnudzon saja bahwa pengirim paket lebaran betul-betul tulus, bukan bermaksud akan memanfaatkan wartawan di kemudian hari. Kita tak bisa mensyukuri hari ini kalau terlalu cemas akan masa yang akan datang. Bila tiba waktunya berhadapan dengan dilema "meliput atau menyembunyikan fakta" (karena ingat pernah dikirimi bingkisan lebaran), biarlah hati nurani yang berbicara. Kita mungkin bisa membohongi redaktur, pemred, kolega, bahkan pembaca kita. Tapi kita tak bisa membohongi diri sendiri dan Allah SWT. Selamat Hari Raya pada rekan wartawan, dan terimalah bingkisan lebaranmu dengan rasa syukur dan pikiran positif. Sirikit Syah 11 September 2009 Oh ya Iman, sampaikan pada teman-temanmu yang mempertanyakan kapan survai dilakukan? Itu disertasiku di Westminster London 2002. Kok tidak dicantumkan, enak aja bilang survai tanpa menyebut kapan dan dimana srvai dilakukan, kata temanmu. Tolong suruh dia belajar apa beda karya tulis ilmiah dan kolom. Basic banget ya? Bagi yang berminat, disertasi ada di perpustakaan Stikosa-AWS dan sebentar lagi saya upload ke http://www.lkm-mediawatch/. org

Karena Iman tidak cukup fair untuk memposting both-sides dan hanya pihak yang mengecam saya, saya "terpaksa" mengirimkan tulisan asli saya di bawah ini. Rasanya ini bagus didiskusikan. Pesan tulisan saya ini adalah: kritik atas kode etik yang gampang diakali, empati pada profesi wartawan, dan bahwa bingkisan lebaran terimalah dengan rasa syukur (bukan suudzon), serta: conflict of interest adalah masalah hati nurani wartawan. Tak seorangpun berhak menghakimi tanpa bukti-bukti.
Namun menurut teman-temannya Iman, tulisan ini: mencela AJI (padahal semua kode etik saya kritik, tak hanya AJI), dan mendukung amplop. Betul-betul sebuah plintiran dan tuduhan luar biasa:(.

Silakan baca, lalu beri masukan: bagaimana tanggapan Anda atas tulisan ini.

Respons.... :

Forwarded Message ----> From: Item > To: ajisaja@yahoogroups .com; jurnalisme@yahoogro ups.com> Sent: Thursday, October 23, 2008 3:43:54 PM> Subject: [ajisaja] Dalam SABILI, Nama AJI dicatut SIRIKIT untuk Bela> sikapnya yang PRO-AMPLOP> > Dear ALL -khususnya SIRIKIT SYAH,> > Saat menservis sepeda motor saya di bengkel dekat rumah, saya membeli> majalah Sabili Nomor 06 Tahun XVI 2 Oktober 2008/2 Syawal 1429 dengan> cover berjudul "Ramai-ramai Menantang Allah".> > Liputan utama edisi itu cukup menarik, Muhasabah-nya (editorial) pun> cukup bagus. Tetapi saya terganggu saat membaca rubrik SOROTAN> (semacam kolom) yang menampilkan tulisan Sirikit Syah dari LKM Media> Watch pada halaman 46-47 Majalah Sabili edisi tersebut.> > Di bawah judul "Paket Lebaran Untuk Wartawan" Sirikit menuliskan> opininya perihal bingkisan lebaran, termasuk fenomena amplop (yang> sebanarnya merusak dunia jurnalistik kita). Sangat disayangkan,> Sirikit telah mencatut nama AJI dan menjurus ke fitnah untuk> menyampaikan opininya yang menyesatkan.> > Pada alinea ke-3 rubrik Sorotan, Sirikit menulis opininya sbb (saya> kutipkan langsung dari halaman 46-47) :> > //Menariknya, betapapun gigihnya organisasi wartawan menegakkan kode> etik, selalu saja ada celah bagi wartawan untuk "berburu rezeki".> Para> wartawan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) misalnya, dengan> mudah mengabaikan pasal 14 Kode Etik mereka berbunyi : 'Jurnalis> tidak> dibenarkan menerima sogokan'. Dalih mereka cukup bagus, "Yang saya> terima ucapan terima kasih, bukan sogokan"..//> > Wah wah wah, anda ini ada apa dengan AJI? Apa dasarnya Anda> menuliskan> itu, Sirikit?> > Bagaimana anda menyimpulkan wartawan anggota AJI dengan mudah> mengabaikan pasal 14 Kode Etik, dan menganggap sogokan sebagai bentuk> ucapan terima kasih". Siapa sumber tulisan anda atau itu sepenuhnya> opini pribadi? Jika yang kedua, dimana kredibilitas anda sebagai ahli> media, dosen komunikasi, dan pegiat LKM, karena mengutip, menulis,> dan> menyampaikan fakta secara keliru? Anda mau jadi ahli KELIRUMOLOGI> baru> menggantikan Jaya Suprana?> > Tolong simak Sirikit,> > Sejak didirikan tahun 1994, AJI sudah menyatakan diri anti amplop, di> samping menolak bredel dan penyensoran terhadap pers. Bagi AJI> "memburu dan menerima amplop" adalah praktek tercela yang harus> ditentang dan diberantas. Perjuangan ini cukup berat, karena AJI> harus> berhadapan dengan budaya amplop yang parah dan sikap permisif> organisasi wartawan yang ada waktu itu. Apalagi kantor-kantor Humas> departemen sudah terbiasa memberikan amplop kepada wartawan sebagai> "dana pembinaan".> > Pada tahun-tahun awal reformasi, AJI mengkampayekan sikap Anti Suap> dan menyatakan "amplop" sebagai musuh pers karena bisa mempengaruhi> independensi dan profesionalisme jurnalis. Menyusul disahkannya> Undang> Undang Pers Nomor 40/1999, AJI melakukan road-show ke kantor-kantor> media, mengajak jajaran redaksi untuk bersikap anti amplop. Pada> 2005-2006, dengan dukungan Komisi Eropa, AJI mengadakan kampanye anti> amplop secara nasional. Saat itu AJI meminta agar pemerintah dan DPR> menghapuskan "dana pembinaan wartawan" dari pos APBD dan APBN. AJI> menilai alokasi anggaran wartawan itu sebagai sumber korupsi pejabat,> dan sumber sogokan bagi wartawan. Upaya ini masih gagal karena> hambatan birokrasi dan ditentang sebagian "unsur pers" lainnya.> > Meskipun berat, kampanye anti amplop AJI cukup membuahkan hasil.> Salah> satunya, sikap anti amplop/sogok (sebagai bagian sikap profesional)> yang mulai diikuti oleh para jurnalis muda. AJI sendiri berupaya> menegakkan etika dan sanksi keras bagi anggotanya yang terbukti> menerima amplop atau imbalan dalam peliputan berita.> > Hasil lain yang tampak saat ini, ialah hampir semua media cetak> (koran> dan majalah), juga media elektronik (TV dan radio) mencantumkan> aturan> tertulis yang melarang jurnalis menerima pemberian atau imbalan dari> siapapun. Termasuk majalah Sabili mencantumkan "larangan menerima> imbalan" dalam peliputan berita.> > Namun tulisan Sirikit dalam Sabili edisi Idul Fitri itu sangat> bertentangan dengan sikap redaksi Sabili dan bertentangan dengan> sikap> AJI sebagai organisasi jurnalis. Kalau Sirikit jelas bersikap AMPLOP> is OK, AJI bersikap sebaliknya, Amplop dan imbalan Idul Fitri,> bingkisan Natal, kado ultah pejabat, itu semua TIDAK OKE.> > Bagaimana Sirikit menyimpulkan bahwa anggota AJI mengabaikan etika> dan> menganggap menerima amplop sama dengan "ucapan terima kasih"?> Tegasanya apa motivasi Anda mencatut nama AJI untuk menjustifikasi> sikap anda yang permisif terhadap praktek amplop? Anda sengaja> memfitnah AJI?> > Teman2,> Dalam hampir seluruh tulisannya, Sirikit menyatakan> pembenaran-pembenar an kenapa wartawan boleh menerima sogokan atau> bingkisan lebaran, seperti dituliskan dalam beberapa alinea di bawah> ini :> > --Alinea : //Dalam kondisi hidup seperti sekarang ini, wartawan boleh> dikatakan profesi yang paling jarang mengeluh. Para wartawan tidak> pernah protes pada majikan atau demo pada pemerintah. Padahal> sebagian> besar gaji wartawan di bawah UMR. Sebagian lagi tak bergaji,hanya> diberi kartu pers dan disuruh oleh majikannya untuk mencari uang> sendiri".//> > --Alinea 10 : //Akhirnya semua kembali pada hati nurani. Wartawan> yang> sedang didera kesulitan hidup, tiba-tiba di rumahnya mampir bingkisan> lebaran, kemudian anak dan istrinya tersenyum cerah saat membuka> bingkisan, tentu saja tak sempat berpikir panjang : Apakah si> pengirim> punya maksud-maksud tertentu? Apakah dia punya skandal, sehingga> wartawan yang bersangkutan bisa membantu atau tidak meliput, agar> skandal itu tak terbongkar?/ /> > --Alinea 11 : //Sebaiknya kita khusnudzan saja bahwa pengirim paket> lebaran itu benar-benar tulus, bukan bermaksud memanfaatkan wartawan> di kemudian hari. Kita tak bisa mensyukuri hari ini kalau terlalu> cemas akan masa yang akan datang. Tapi, jika tiba waktunya berhadapan> dengan dilema "meliput atau menyembunyinkan fakta" (karena ingat> pernah dikirimi bingkisan lebaran), biarlah hati nurani yang bicara.> Kita bisa membohongi redaktur, pemred, kolega, bahkan publik. Tapi> kita tak bisa membohongi diri sendiri dan Allah Yang Menciptakan> kita.//> > Dalam kalimat penutup tulisannya Sirikit menulis :> //Selamat Idul Fitri 1429 H pada rekan-rekan wartawan dan terimalah> bingkisan lebarannya dengan syukur dan pikiran positif.//> > Jadi maksud Sirikit : it's okay wartawan menerima amplop, bingkisan> lebaran, atau "ucapan terima kasih" dari pihak manapun. Yang penting> wartawan ingat kepada Allah dan menggunakan hati nuraninya. Oalah...> > Di luar perilaku Sirikit yang mencatut nama AJI, kampanye "boleh> terima Amplop dan terimalah bingkisan lebaran Sirikit" patut> dikritisi. Dengan sikapnya itu, Sirikit seolah mengatakan : wartawan> Indonesia (termasuk wartawan Sabili) boleh terima amplop asal> berprasangka baik kepada pemberinya. Wartawan boleh terima imbalan> asal jangan mencemaskan maksud pemberian itu. Bukan mustahil suatu> hari Sirikit mengatakan : wartawan boleh mencuri atau korupsi, asal> bersyukur dan ingat kepada Allah..> > Astaghfirullah. .. Sudah separah itukah anda, Sirikit?> > Item> (Sedang menyiapkan Hak Jawab kepada Majalah Sabili untuk> mempertanyakan pencatutan nama AJI dan upaya fitnah yang dilancarkan> Sirikit Syah).>

Puluhan Warga Keracunan Ikan Cakalan

JEMBER - Tercatat sekitar 20 warga Dusun Lumbung dan Dusun Gardu Timur Desa Rowosari Kecamatan Sumberjambe mengalami keracunan ikan cakalan. Warga yang menjadi korban merasakan sakit perut mual, mau muntah dan pusing itu selanjutnya dirawat di Puskesmas Cumedak Kecamatan Sumberjambe. Selain itu ada sebagian warga yang mengaku kulitnya seperti biduran setelah sekitar 3 jam usai memakan ikan cakalan yang dibeli di Pasar Kreongan Sumberjambe itu. Berdasarkan pengakuan salah satu korban, Fatimah (53), pada pagi hari kemarin dia membeli ikan cakalan dipasar Kreongan Sumberjambe sebanyak satu plastik kecil tidak banyak. Fatimah sudah biasa dan sudah tahunan memakan ikan cakalan itu dengan cara menggorengnya. Namun kemarin ternyata tidak seperti biasanya. "Setelah saya makan ikan cakalan paginya, terus siangnya kepala saya pusing sekali dan badan rasanya mual dan panas. Saya langsung dibawa keluarga ke Puskesmas Cumedak," tutur Fatimah dengan nada pelan saat lengan kanannya dibalut infus, kemarin. Hal serupa juga dialami Bahri yang baru berumur 11 tahun. "Saya makan ikan cakalan dengan nasi putih, tapi siangnya kepala jadi pusing dan badan gatal-gatal seperti biduran," aku Bahri. Beruntung tidak semua anggota keluarganya yang berjumlah 4 orang mengalami keracunan serupa. Sedangkan salah satu kerabat korban, Abdurachman mengatakan, si penjual ikan cakalan itu bernama Haji Abdul Hadi yang juga juragan pedagang tersebut. "Pak Abdul Hadi yang saya tahu biasa kulakan ikan cakalan dari Bondowoso. Sudah bertahun-tahun dia jualan ikan dan baru kali ini ada yang jadi korban keracunan dagangannya," kata Abdurachman. Abdul Hadi merupakan tetangga dekatnya dan dai tidak mengerti penyebab ikan cakalan itu hingga bisa menyebabkan si pemakannya jadi seperti keracunan ikan."Ada keponakan saya yang juga kena. Sempat saya bawa ke Puskesmas, tapi sudah sembuh duluan karena saya beri air kelapa muda untuk menetralisir adanya racun," katanya.Sementara dari pihak Puskesmas Cumedak Sumberjambe masih belum melakukan uji laboratorium terkait kasus keracunan ikan cakalan atau pindang yang membuat sejumlah warga harus terpaksa dirawat intensif. Pihak Puskesmas awalnya berbelit-belit saat dikonfirmasi wartawan mengenai penyebab keracunan. Namun setelah didesak, akhirnya puskesmas memberikan keterangan bahwa penyebabnya adalah intoksifikasi ikan. "Pasien itu kena keracunan ikan tongkol," kata Shinta Primasari, salah satu petugas Puskesmas Cumedak. Soal adanya kandungan racun pada ikan, Shinta mengaku masih belum mengetahui persis. Sebab kata dia masih perlu dilakukan uji laboratorium terhadap ikan yang sudah dimakan tersebut. "Keracunan tersebut tidak parah. Para pasien yang dibawa ke Puskesmas hari Minggu kemarin sudah pulang. Untuk mengobati mereka kami memberikan asupan susu," kata Shinta. (p juliatmoko)

Korupsi Kasda Camat Herwan Dituntut 4 Tahun Penjara

JEMBER- Satu lagi kroni koruptor mantan Bupati Jember Samsul Hadi Siswoyo dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 30 juta. Dia adalah mantan Kepala Bagian Keuangan Pemkab Jember pada tahun 2003-2004 yang kini menjabat Camat Patrang, Herwan Agus Darmanto. Jaksa penuntut umum yang dikoordinatori Yusuf Wibisono membacakan berkas tuntutan secara bergantian bersama dua jaksa lainnya. Sekadar diketahui, terdakwa Herwan diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi kas daerah (Kasda) Pemkab Jember senilai Rp 1,1 miliar. Jaksa mendasarkan penuntutan 4 tahun penjara itu pada fakta penyidikan dan persidangan dakwaan subsidair pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 dan 64 KUHP. Sayangnya terdakwa oleh jaksa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan berdasarkan dakwaan primer pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi. Padahal jaksa dalam berkasa penyidikan menduga terdakwa telah mengeluarkan uang secara tidak prosedural melalui tahapan antara lain, tidak adanya Surat Keterangan Otorisasi (SKO), Surat Perintah Membayar (SPM) atau Surat Perintah Mencairkan Uang (SPMU) dan tidak ada Surat Pertanggungjawaban (SPJ). Negara dirugikan senilai Rp 1.128.450.481 atau sekurang-kurangnya uang sebesar itu. "Kami menuntut dan memohon majelis hakim memutuskan pada terdakwa dikenakan pasal subsidair pidana penjara selama 4 tahun dikurangi masa tahanan. Terdakwa tetap ditahan," kata Yusuf Wibisono, kemarin.Dengan penuntutan itu jaksa mempertimbangkan alasan pemberat dan peringan pidana penjara. Pidana pemberat karena karena terdakwa merupakan pejabat publik dan diduga turut serta dalam tindak pidana korupsi. Selain itu, alasan memperingan terdakwa karena tidak pernah dihukum dan tidak memberikan keterangan berbelit-belit. Jaksa penuntut umum juga menyatakan sejumlah berkas pembukuan keuangan kategori penting sebagai barang sitaan. Jaksa juga meminta pada terdakwa agar menanggung biaya persidangan hanya sebesar Rp 10.000. Seperti diketahui dalam kasus ini juga menyeret mantan Bupati Jember Samsul Hadi Siswoyo yang telah divonis enam tahun penjara. Sedangkan Sekretaris Kabupaten Djoewito divonis bebas setelah sebelumnya mendekam di Lapas Jember hampir 10 bulan.Atas penuntutan itu, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jember Ely Suprapto memberikan kesempatan pada pengacara untuk menyampaikan pembelaan atau pledoi. Namun demikian pengacara Herwan, Yani Takarijanto meminta agar majelis hakim memberikan waktu tiga minggu untuk merumsukan pledoi. "Kalau tiga minggu itu terlalu lama, kalau bisa pekan depan pada 6 November," kata Ely Suprapto. Permintaan itu duturuti pengacara dan sidang lanjutan akan digelar pekan depan. (p juliatmoko)

PMII Desak Pemuda Tak Dekati Politisi Busuk

JEMBER - Masih banyaknya kalangan pemuda yang tidak tergerak dalam menyikapi kondisi kebangsaan, membuat aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam (PMII) Jember gerah. Bebarengan dengan peringatan 80 tahun Sumpah Pemuda, PMII Jember melakukan aksi mengecam kalangan pemuda yang bersinggungan politisi sarat korupsi dan tidak berpihak pada rakyat alias politisi busuk. Ketua Pimpinan Cabang PMII Jember Achmad Faidi Sujaie mengatakan, saat ini kalangan pemuda masih belum sensitif dalam menyikapi kondisi kebangsaan. "Banyak kalangan pemuda dan mahasiswa yang kehilangan roh kebangsaan, apalagi sebagain dari mereka saja juga sudah lupa lafal Sumpah Pemuda," kata Achmad Faidi Sujaie, kemarin.Di mendesak agar elemen-elemen kepemudaan juga tidak mendekati para politisi busuk yang berakibat pada lunturnya idealisme aktivis mahasiswa maupun organisasi kepemudaan. "Sebaiknya elemen pemuda sekarang harus bersatu mengawal agenda reformasi yang masih jauh dari harapan masyarakat," timpalnya. Selain itu dia juga mengecam depolitisasi organisasi kepemudaan yang dikaitkan dengan ranah politik sesaat dan demi kepentingan golongan. "Saat ini kita harus bergerak mengkritik kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada rakyat antara lain, pendidikan yang masih mahal dan penanganan pengangguran usia produktif yang masih belum tuntas," ujarnya. Dalam aksi itu, mereka juga membacakan lafal Sumpah Pemuda menurut versi mereka. Pada intinya bunyi Sumpah Pemuda itu dipelintir sesuai dengan kondisi kebangsaan saat ini yang masih sarat dengan kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Selain itu mereka juga melakukan aksi sambil berjalan mundur mengelilingi bundaran DPRD Jember sebagai simbol kemunduran rasa kebangsaan dan nasionalisme. Aksi bagi-bagi bunga juga dilakukan di perempatan kelurahan Mangli oleh PMII STAIN Jember. "Kita ingin menggugah semangat pemuda. Bangkitlah dari keterpurukan. Saat ini kita masih dijajah desain kapitalisme global," kata Zaenal Ansori, salah satu aktivis. PMII STAIN Jember mengingatkan, bahwa para pemimpin bangsa mulai muncul dan berkiprah di usia muda. Usianya pemimpin muda saat itu baru berusia di bawah 30 tahun. (p juliatmoko)

Calon KPUD Diisi Wajah Basi

JEMBER - Sekitar 115 warga Jember bakal rebutan 5 kursi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jember. Dari jumlah itu, hingga kemarin siang yang sudah mengembalikan formulir pendaftaran tercatat 22 orang. Dari jumlah itu pula, ternyata masih saja kursi KPUD Jember diperebutkan wajah lama alias eks anggota KPU dan Panwaslu Jember. Dari penelusuran koran ini, wajah lama yang mendaftar lagi itu diantaranya, Ketua KPU Jember Sudarisman, anggota KPU Jember Ketty Setyorini, anggota KPUD Jember Hanan Kukuh Ratmono, anggota KPU Jember Supandri, mantan Panwaslu Jember Ahmad Hasan Halim dan Habib M Rohan yang pernah menjadi kandidat 10 besar KPU Jawa Timur. Sekretaris Tim Seleksi Calon KPU Jember, Jayus mengatakan, pihaknya berharap agar pra calon yang serius mencalonkan diri itu memiliki kinerja yang baik dan kredibel. "Kita tidak melihat mereka itu tidak obyektif ataupun pernah jadi tim sukses. Yang jelas mereka harus kredibel dimata masyarakat," kata Jayus. Sebab setelah melakukan sejumlah seleksi, maka Tim Seleksi akan mengumumkan sekitar 20 calon kepada masyarakat. Dengan publikasi itu diharapkan masyarakat bisa menilai para calon yang layak lolos. "Dari seleksi di Jember, nantinya masih harus menjalani seleski oleh Tim Seleksi dari Jawa Timur," ujarnya. Soal masih banyaknya wajah lama yang mencalonkan diri, Jayus mengangp hal itu wajar dan manusiawi sebab KPU merupakan jabatan publik yang bukan kecil.Saat pengambilan formulir pencaftaran itu sejumlah nama wartawan sempat dicatut oleh orang tidak bertanggung jawab. Setidaknya ada sekitar 6 wartawan cetak maupun elektronik di Jember yang namanya merasa jadi korban pencatutan nama.Sementara sejumlah aktivis Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jember mengantarkan tiga orang perempuan turut mendaftarkan diri. Mereka juga meminta agar Tim Seleksi memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. "Kita berharap komposisi KPUD Jember terpilih adalah minimal dua perempuan. Sebab berdasarkan UU nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu pasal 6 ayat 5 menyatakan, kompisisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen," kata Sekretaris KPI Jember Mimi Harumi Atur Mulyono.Tiga perempuan aktivis KPI Jember yang mendaftarkan diri adalah Sri Sulistyani, Emma Kemalawati, dan Ria Angin. Menurut Mimi, dengan pemenuhan UU tersebut maka kinerja dan martabat KPUD Jember sebagai lembaga penyelenggara pemilu dapat dipastikan akan jadi acuan parpol, termasuk dalam hal pemenuhan keterwakilan perempuan. Terkait persoalan itu, anggota Tim Seleksi Mukni'ah mengatakan, tidak ada keharusan merekrut perempuan sebagai anggota KPUD Jember. "UU hanya berbunyi memperhatikan keterwakilan. Tidak ada kewajiban. Semua anggotanya perempuan ya tidak apa-apa," timpal Mukni'ah. Pihaknya berjanji akan bersikap objektif dan memperlakukan semua calon sama dan tidak akan ada pengistimewaan terhadap para calon. (p juliatmoko)

M Y P E O P L E

V i s i t o r

counter