Sabtu, 15 Desember 2007

Apa Betul Media Mempengaruhi Massa ?
Oleh : Purcahyono Juliatmoko
(Koresponen Koran Seputar Indonesia-Jember)

Perkembangan media massa ditanah air seakan tidak pernah mencapai titik kepuasaannya. Sejak zaman kolonial hingga lepasnya negara dunia ketiga dari cengkeraman pemilik modal, media massa sekana menjadi sebuat alat.
Tidak hanya sebagai alat propaganda, namun juga sebagai alat untuk memperlancar masuknya investasi modal. Dari mana itu bisa ditelisik ?
Sekedar diketahui, sejumlah media massa dengan latar belakang modal besar, seperti Media Nusantara Citra, Kelompok Kompas Gremedia, Jawa Pos Group maupun PT Transnasional Televisi memiliki visi dan misi media masing-masing.
Perkembangan terkini, sejumlah media bahkan berperang dengan yang namanya pemberantasan korupsi dengan semacam ekspos besar-besaran sejumlah kasus korupsi yang sedang melilit pejabat. Itu bahkan mustahil dilakukan diera orde baru.
Adapula media lain yang mencoba meraup perhatian publik dengan mengekspos soal hiburan an sich yang tanpa diselingi latar sesuatu yang mendidik.
Itulah sekelumit dari perkembangan media massa kini, tapi dalam benak kita masih mmengusik, benar gak sih media itu mempengaruhi massa ?

Yuk kita lihat beberapa analisa dan faktor yang mempengaruhinya :

Salah satu "pantangan besar" bagi seorang jurnalis adalah: dilarang menyampaikan opini pribadi si penulis secara langsung di dalam tulisannya. Sebab, tugas seorang wartawan hanyalah sebagai "mediator" antara nara sumber (sumber berita) dengan pembaca.
Lantas, apakah ini berarti si wartawan tidak boleh berpendapat sama sekali? Apakah si wartawan - bahkan redaktur sebuah media - tidak boleh menyebarluaskan opini atau idealisme atau aliran hidupnya kepada para pembaca?

Tentu saja amat boleh. Tapi, ada strategi cantik yang bisa dilakukan. Dan inilah yang akan kita bicarakan kali ini.

Peristiwa VS Berita

Sebelumnya, kita akan bahas dulu apa perbedaan antara peristiwa dengan berita.
Peristiwa adalah sesuatu yang sifatnya amat objektif. Misalnya: Ada orang yang ditabrak oleh mobil di jalan raya. Ini adalah sesuatu yang sangat objektif.
Sedangkan berita adalah peristiwa yang diceritakan.
Ketika peristiwa di atas diceritakan oleh seorang saksi mata kepada orang lain, maka peristiwa ini telah berubah menjadi berita. Dan berita tidak akan pernah seratus persen objektif.
Why ? Sebab ketika si saksi mata menceritakan sebuah peristiwa, pasti subjektivitas dirinya sudah terlibat di dalam berita tersebut. Subjektivitas ini bisa dalam skala yang paling kecil (seperti gaya bercerita), yang agak besar (sikap si saksi mata terhadap peristiwa tersebut), hingga yang berskala besar (seperti idealisme, kepentingan bisnis atau politik, dan sebagainya).
Berikut adalah sebuah contoh nyata tentang subjektivitas berita. Kita andaikan, peristiwa di atas diceritakan oleh tiga orang saksi mata, yakni Ani, Budi, dan Yani.

ANI:
“Wah, tadi ada orang yang ditabrak mobil di jalan raya. Kasihan, deh. Dia luka parah dan enggak ada yang mau nolong.”

BUDI:
“Tadi pas gue lewat di jalan raya, ada yang ketabrak mobil. Lukanya enggak begitu parah, sih. Tapi anehnya, kok enggak ada yang mau nolong, ya?”

YANI:
“Tadi ada orang yang ketabrak mobil. Syukurin tuh orang. Makanya, kalo nyeberang lihat kiri kanan dulu.”
Coba simak, dan rasakan subjektivitas masing-masing berita di atas.

Maka, sebenarnya TAK ADA BERITA YANG 100 % OBYEKTIF. Kalaupun ada yang mengaku sebagai media massa yang objektif (contohnya yang ini), mungkin mereka hanya mencoba seobjektif mungkin.

Perbedaan sikap dan cara bercerita ketiga orang di atas adalah contoh subjektivitas, tapi masih berskala kecil. Dalam prakteknya di dunia jurnalistik, subjektivitas ini bisa berskala lebih besar, misalnya karena menyangkut ideologi, misi dan visi setiap penerbitan, dan sebagainya.

Sebagai contoh, beberapa tahun lalu di situs berita luar negeri terdapat sebuah foto yang sebenarnya biasa-biasa saja. Adegannya adalah seorang ibu berjilbab sedang diperiksa oleh petugas keamanan di depan pintu masuk sebuah mal di Jakarta.

Kita yang tinggal di Jakarta tentu tahu, bahwa adegan seperti ini sudah jadi pemandangan umum, tak ada yang istimewa. Karena banyak bom yang meledak, setiap gedung merasa perlu memeriksa semua tamu yang masuk.

Tapi coba lihat, apa yang ditulis oleh situs berita luar negeri tersebut. Pada komentar foto, dia menulis seperti ini:

Seorang wanita muslim diperiksa oleh pihak keamanan di depan pintu masuk sebuah mal di Jakarta.

Memang benar, wanita yang diperiksa itu seorang muslim, karena dia pakai jilbab. Tapi kita tak bisa membaca sebuah berita apa adanya seperti itu. Kita perlu bertanya secara kritis, seperti ini:


Kenapa si wartawan menulis “seorang wanita muslim”? Pemilihan kata seperti ini bisa menimbulkan kesan bahwa yang diperiksa di depan mal hanyalah orang muslim. Kesan selanjutnya, seolah-olah semua umat Islam itu patut dicurigai sehingga perlu diperiksa. Padahal kenyataannya, setiap orang tanpa kecuali (apapun agama dan golongannya) akan diperiksa kalau mereka hendak memasuki mal.


Kemungkinan besar si wartawan – ketika memburu foto di depan mal - tak hanya memotret wanita berjilbab tadi. Pasti banyak orang yang yang terekam oleh kameranya. Tapi kenapa yang ditampilkan di situsnya hanya si wanita berjilbab?
Itulah contoh yang jelas mengenai subjektivitas berita. Intinya, tak ada berita yang benar-benar objektif.

Kiat Media dalam Mempengaruhi Massa
Jadi, walaupun ada prinsip bahwa seorang jurnalis tidak boleh menyampaikan pendapat atau opininya secara langsung di dalam sebuah tulisan jurnalistik, dalam prakteknya subjektivitas tetap tak bisa dicegah.
Karena itu, jurnalistik juga mengenal sejumlah kiat untuk menyampaikan pesan, opini, dan sebagainya, tanpa harus "melanggar" aturan di atas.
Berikut adalah beberapa di antaranya.

1. Pemilihan istilah
Sebagai contoh, coba bandingkan kedua kalimat ini:
Pemberontak Palestina menyerbu markas tentara Israel.
Pejuang Palestina menyerbu markas tentara Israel.
Kedua kalimat di atas sebenarnya sama saja. Yang berbeda cuma pada kata “pemberontak” dan “pejuang”.

Kita tentu tahu, kedua istilah ini punya makna yang berbeda. Pemberontak biasanya identik dengan penjahat atau pengkhianat negara, sedangkan pejuang adalah orang yang bekerja untuk meraih sesuatu yang mulia. Pemberontak bermakna negatif, sedangkan pejuang bermakna positif.

Kalimat pertama adalah contoh kalimat yang sering dipakai oleh pers Barat yang anti Islam. Mereka hendak memberi kesan bahwa Palestina berbuat salah karena menyerang Israel. Padahal kenyataannya, justru rakyat Palestina yang berjuang untuk memerdekakan negara mereka dari jajahan Israel.

2. Menonjolkan pendapat tokoh yang satu misi dengan kita
Memang, seorang wartawan hendaknya menampilkan pendapat dari dua kubu yang berbeda. Dari yang pro maupun yang kontra. Supaya beritanya berimbang. Tapi dalam teknis penulisan, kita bisa mengatur agar tulisan kita membawa misi sesuai yang kita harapkan.
Contoh:
Si wartawan hendak menulis berita tentang kontes Miss Universe, tapi Anda tak setuju dengan acara ini. Setelah mewawancarai tokoh-tokoh yang pro dan kontra, dia menulis beritanya seperti ini (contoh):
”Miss Universe itu boleh-boleh saja, kok. Mereka kan mengharumkan nama bangsa,” ujar Mr. X. Pendapat senada dilontarkan oleh Mr. Y. Katanya, “Kontes Miss Universe bisa menunjang pariwisata kita.” Namun pendapat berbeda disampaikan oleh Mr. Z. Menurutnya, kontes Miss Universe itu tidak ada gunanya sama sekali. “Itu hanyalah ajang pamer aurat. Biaya penyelenggaraan acaranya bisa dipakai untuk membantu rakyat miskin,” tandasnya tegas.
Coba perhatikan. Pendapat yang pro diletakkan di bagian awal, sementara pendapat yang kontra (yang sejalan dengan misi penulisnya) diletakkan di bagian akhir. Ini tentu ada maksudnya. Biasanya, yang muncul belakangan adalah kesimpulan. Jadi dengan penempatan pendapat yang sesuai misi kita di bagian akhir, kita dapat menggiring pembaca untuk setuju dengan pendapat kita.
3. Seleksi terhadap materi berita
Secara teori, kita bisa memasukkan informasi apa saja untuk mendukung berita yang kita tulis. Misalnya, kita ingin memuat sebuah foto tentang keakraban antara ibu dengan anak. Di sini, kita bisa memilih: si ibunya ini pakai jilbab atau tidak? Jika kedua pilihan ini tidak mempengaruhi pesan yang hendak disampaikan, maka tak ada salahnya jika kita memilih foto ibu yang berjilbab. Sebab ini bisa menjadi sarana yang baik untuk memasyarakatkan pemakaian jilbab di kalangan pembaca.

4. Menonjolkan informasi tertentu dan dan tidak menonjolkan informasi lainnya
Contoh kasus: Ada dua materi yang bisa kita tampilkan:
liputan konser nasyid dan liputan konser dangdut. Yang mana yang harus dimuat? Jika tujuannya adalah dakwah, kita punya pilihan sebagai berikut.
1.Memuat liputan konser nasyid, sementara liputan konser dangdut tak dimuat.
2.Memuat kedua liputan ini. Tapi liputan konser nasyid dibahas secara lebih lengkap, dan ditonjolkan di halaman depan. Sementara liputan dangdut dibahas sekilas saja.

Apakah hal seperti ini diperbolehkan? Tentu saja boleh. Yang tak boleh adalah berbohong. Kita pasti tahu, trik seperti di atas bukan termasuk bohong.

5. Membentuk citra tertentu
Apa yang dimaksud dengan citra? Untuk lebih jelasnya, coba perhatikan kedua contoh paragraf berikut.
Contoh 1:
Konser musik rock tadi malam berlangsung meriah. Penonton jingkrak-jingkrak dan berteriak histeris, mengelu-elukan idola mereka. Acara berlangsung sejak pukul empat sore hingga sepuluh malam. Penonton tampak puas dengan penampilan artis-artis di atas panggung. “Asyik aja pokoknya. Lain kali kalo ada acara seperti ini, gue pasti datang,” ujar Doni, salah seorang penonton yang datang jauh-jauh dari Tasikmalaya untuk menonton konser ini.
Contoh 2:
Konser musik rock tadi malam berlangsung meriah. Penonton jingkrak-jingkrak dan berteriak histeris, mengelu-elukan idola mereka. Acara berlangsung sejak pukul empat sore hingga sepuluh malam. Shalat magrib pun terlewat. Suasana riuh tetap terasa di seluruh lapangan. Banyak botol minuman keras dan puntung rokok berserakan di atas rumput. Penonton tampaknya menikmati acara yang sangat meriah ini. Namun tak jauh dari lokasi konser, seorang penduduk setempat mengajukan keluhannya. “Bising banget, Mas. Kami kagak bisa tidur semalaman,” ujarnya.

Coba perhatikan. Kedua contoh di atas sebenarnya menginformasikan peristiwa yang sama. Tapi ada perbedaan yang sangat jelas di dalam sudut pandang pemberitaannya.
Itulah salah satu contoh pembentukan citra. Dua orang jurnalis membentuk citra yang berbeda dari informasi yang sama.
Apakah boleh menampilkan tulisan dengan cara seperti itu? Boleh-boleh saja, kok. Secara umum, si jurnalis hanya bermain-main dengan “persepsi”. Setiap orang tentu punya persepsi atau pandangan yang berbeda-beda mengenai sesuatu, kan?


* * *
The Others :

SETIAP wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Ini elemen yang kesembilan.

“Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya,” kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E Network.

Menjalankan prinsip itu tak mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas, di mana setiap orang dirangsang untuk bersuara. “Bos, saya kira keputusan Anda keliru!” atau “Pak, ini kok kesannya rasialis” adalah dua contoh kalimat yang seyogyanya bisa muncul di ruang redaksi.

Menciptakan suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisa mengambil keputusan –menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan, membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas—agar media bersangkutan bisa menepati deadline.

Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.

Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan, “Jurnalisme yang paling baik seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya.”

Pada hari pertama Nieman Fellowship, Bill Kovach mengatakan pada 24 peserta program itu bahwa pintunya selalu terbuka. Terkadang dia sering harus mengejar deadline dan mengetik, “Raut wajah saya bisa galak sekali bila seseorang muncul di pintu saya. Tapi jangan digubris. Masuk dan bicaralah.”*

Tidak ada komentar:

M Y P E O P L E

V i s i t o r

counter