Sabtu, 15 Desember 2007

AKANKAH KITA KRISIS IDEOLOGI ?
(P Juliatmoko)

Kenyataan memang harus diakui , tidak suka mengakui kenyataan artinya membutakan diri, buta fikiran dan buta hatinya, dan buta akan kenyataan itu,buta akan kebenaran akhirnya buta terhadap perbuatan. Berbuat menumbuk bentur, menuruti hawa nafsu.
Akibatnya : Kehancuran !
Ini adalah suatu hukum karma, hukum perbuatan, hukum sebab akibat yang tidak dapat dielakkan, barang siapayang tidak menyukainya untuk mengakui atas kejahatan, akibatnya akan menemui Kehancuran. Kita sebagai kader marhaenis, yang harus mengindahkan hukum yang demikian tadi. Bung Karno, Bapak Marhaenis kita juga mengajarkan demikian,mengajarkan berfikir dan berbuat menurut kenyataan dan bukan menurut jalan fikiran kita masing-masing, melainkan jalan fikiran yang harus mengikuti kenyataan yang sebenarnya, serta mengakui hukum-hkum yang berlaku diatasnya, kita akan dapat merubah kenyataan tadi kedalam suatu kemungkinan yang kita kehendaki, kemungkinan yang kita cita-citakan. Disini kita berdialog lewat pemahaman kita tentang Marhaenisme, jiwa marhaenisme yang kita pegang teguh, yang kita tanamkan dalam jiwa kita masing-masing sampai mendarah daging. Untuk itu pertama yang harus kita mulai mengenai selera,waspada diri, mengenali diri pribadi, mengetahui kenyataan yang sebenarnya, kenyataan yang melekat pada jiwa kita. Mengetahui dan mengenali bahwakenyataan adalah karma bagi kita sendiri. Jika ada keburukannya, bukanlah itu kesalahan orang lain, melainkan kesalahan kita sendiri.
Dengan mengetahui kenyataan sebenarnya yang terdapat dalam jiwa kita sendiri itu, dan mengetahui hukum-hukum yang berlaku atasnya, kita akan dapat merubah kenyataan kita tadi kedalam suatu kemungkinan yang kita cita-citakan, suatu kenyataan akan kejayaan Marhaenisme.
KINI bagaimanakah kenyataan yang sebenarnya itu ? Secara jujur jiwa Marhaenisme kita masih masih kurang dalam meresapi, kita kaum Marhaenis pada umumnya masih belum mendarah daging. Tidak saja pada jiwa orang kebanyakan, melainkan juga pada jiwa para pemimpinnya. Jiwa Marhaenisme masih kurang meresap pada jiwa kitakaum Marhaenis pada umumnya. Ajaran-ajaran Marhaenisme belum mendarah daging. Itulah sebabnya juga terpenting, maka selama ini kelemahan-kelemahan masih saja terasa dalam lingkungan organ yang berasaskan Marhaenisme. Pertentangan dan perpecahan yang sering terjadi bukanlah kontradiksi pokok, melainkan persoalan sepele atau persoalan perorangan belaka. Kurang sehatnya lagi ialah berkaitan dengan persoalan Ideologi, soal ajaran Marhaenisme itu sendiri, Seakan-akan ideologinyan yang dipersalahkan, bukan pada introspeksi dirinya. Dipersalahkan karena kurang sempurna, belum ada ketegasan,dan lain-lain lagi.Padahal kenyataannya sendirilah yang salah, yakni mengaku dirinya adalah seorang Marhaenis,tetepi belum meresapi akan roh-roh Marhaenisme itu dalam jiwanya masing-masing, belum mendarah-daging antara ajaran dan realitas perbuatan. Jangankan meresapi jiwanya dan mendarh-daging ajarannya, terkadang mempelajarinya-pun malas !
Lebih jauh lagi sekarang ini sedang terjadi krisis konsepsi atau krisis Ideologi kita sendiri. Jadi awal yang harus di dekonstruksi ialah mengenai konsepsi dan ideologi, baru kemudian dapat mempeerbaiki yang lain secara menyeluruh. Padahal yang namanya krisis konsepsi dan krisis ideologi itu sebenarnya tidakada, Ideologi Marhaenisme sudah tegak berdiri, konsepsinya sudah tegas. Tinggal aplikasinya saja dalam berintegrasi dan sosialisasi dengan masyarakat tanpa mengenal yang namanya stratifikasi sosial.
Yang salah adalah orang-orangnya saja, sebab kurang adamya interest untuk lebih mendalami ajaran-ajaran Marhaenisme tadi. Mungkin kekeliruan akan niat seseorang sewaktu mengintgrasikan diri pada organ yang berasasjan Marhaenisme, niatannya bukan untuk mengabdikan kepada Marhaenisma, sebagai ajaran pembebasan terhadap segala bentuk ketertindasan, melainkan untuk mencari keduduakan atau yang lainnya yang serba hedon-is.Tidak meresapi benar ajaran Bung Karno yang dituliskan pada Buku Di Bawah Bendera Revolusi, yang menegaskan bahwa Marhaenisme bukanlah isme untuk mencari kedudukan atau popularitas bagi diri seseorang ataupun pengikutnya melainkan isme untuk mengabdikan diri kepada masyarakat.
Ideologi Marhaenisme masih relevan ! bukannya mengalami krisis, bahkan sedang berkenbang mengawal seluruh heterogenitas yang ada di Nusantara dan telah berhasil membentuk dan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia kita sekarang ini.
Tidakkah menurut kata-kata Bapak Marhaenisme didalam resepsi Konggres di Solo tahun 1960, semuanya yang terwuud dalam bangunan NKRI kita ini adalah pengejewantahan dari Marhaenisme, UUD 1945, dan Manipol USDEK adalah emanasi dari marhaenisme, dan banyak lagi emanasi-emanasi yang lain. Konsepsinya- pun juga tegas, tidaklah konsepsi penyelesaian Revolusi Nasional kita sekarang adalah sebenarnya adalah konsepsi Marhaenisme juga, bukankah Bapak Manipol USDEK, Bapak Pancasila , Pemimpin Besar Revolusi kita adalah juga Bapak Marhaenisme ! Secara singkat tidak ada yang namanya Krisis Ideologi atau Krisis Konsepsi ! Persoalannya akan menjadi lain, bukan persoalan ideologi atau konsepsi, jka istilah krisis dapat dipergunakan, maka yang ada sekarang ini adalah krisis kader-kadernya, yakni kader-kader yang ingin menonjolkan diri sebagai Marhaenis Sejati, tetapi jiwa Marhaenisme sebenarnya belum dimiliki, belum meresap pada jiwa dan rohnya. Ajaran-ajaran Marhaenisme yang pokoknya adalah ajaran pengabdian kepada masyarakat, ternyata belum mendarah-daging. Mungkin beberapa dalilnya yang telah diketahui, atau telah dihafal diluar kepala, tetapi dalam jiwanya belum diresapi dan belum menjadi roh. Atau mungkin jalan hidupnya belum dipelajari, sebab jika sosilaisme Indonesia adalah suatu jalan hidup, maka Marhaenisme-pun juga suatu jalan hidup, yakni jalan hidup untuk mengabdi kepada masyarakat untuk menyadarkan suatu pembebasan dari segala bentuk ketertindasan, dan bukan untuk mengejar kedudukan atau popularitas semu yang kurang produktif !!! .

Tidak ada komentar:

M Y P E O P L E

V i s i t o r

counter