Puluhan Kader Partai Pengusung SBY Mengamuk
Gulingkan Papan Partai dan Desak Ketua Mundur
JEMBER- Amuk massa kembali dilakukan puluhan kader Partai Demokrat (PD) Jember. Dikantornya di Jalan S Parman 42 mereka membakar sejumlah spanduk bernada menghujat kepengurusan partai dan karpet yang biasa digunakan untuk rapat kader dan pengurus. Selain itu, mereka juga mencopoti dan menurunkan bendera partai dan kemudian merobohkan papan nama Partai Demokrat. Belum puas, mereka mendobrak paksa pintu masuk utama kantor. Didalam kantor itu terdapat sejumlah bungkusan beras dan akhirnya dikeluarkan untuk dibagikan kepada warga.Sebelumnya puluhan kader partai pengusung presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu sempat mengetahui salah satu pengurus DPC PD Jember Gus Joyo Setiawan rapat di kantor Badan Kesatuan Bangsa (Bkesbang) Jember. Kantor itu hanya berjarak 10 meter berhadapan dengan kantor DPC PD. Gus Joyo akhirnya diminta keluar dari rapat dan didesak untuk menemui kader yang tengah melakukan demo di kantor partai. "Kita minta agar dia (Gus Joyo) menjelaskan keadaan partai yang sudah kacau balau ini," timpal Edi Mulyo yang juga Forum Penyelamat Partai Demokrat (FPPD) Jember, Kamis (31/1). Saat Gus Joyo memasuki kantor, nyaris terjadi adu fisik dan sejumlah massa mencemooh soal keterwakilan dia dalam menghadapi pendemo. Dia sempat disandera oleh sejumlah massa beberapa menit, namun berhasil melarikan diri dan menuju ke kantor Bakesbang lagi. Sebelumnya mengumpulkan massa di depan Gedung DPRD Jember. Mereka yang kecewa dengan kepengurusan partai itu juga melakukan orasi bersama 22 pengurus pimpinan anak cabang. Dalam pernyataan sikapnya yang bernada melakukan penggembosan partai, massa yang menamakan diri FPPD Jember itu juga mendesak agar Ketua PD Saptono Yusuf agar mengundurkan diri. Selain itu Saptono selama ini dianggap masih belum mengantongi secara resmi surat keputusan kepengurusan dari Dewan Pimpinan Pusat PD. "Saptono sampai saat ini selalu pilih-pilih untuk mengajak rapat pengurus, bahkan tidak pernah melakukan rapat pleno seperti yang diatur dalam anggaran dasar dan aggaran rumah tangga partai," katanya.Hal yang sama juga diungkapkan Ketua PAC Rambipuji Fathur Amin yang menganggap surat keputusan kerteker terhadap 19 ketua PAC tanpa teguran tertulis atupun lisan, tanpa surat peringatan dan bahkan tanpa surat pemberhentian terhadap PAC yang masih sah."Saptono juga telah memberikan laporan palsu kepada DPD dan DPP terkait daftar peserta Rakornas di Semarang. Melaksanakan Musancab secara sembunyi-sembunyi dan banyak melaklukan kebohongan terhadap kader partai," urainya.Dalam aksi itu kader PD Jember berkomitmen jika permasalahan internal partai tidak diselesaikan dan Saptono tidak mau mundur, maka mereka akan melakukan segala cara untuk melakukan penggembosan terhadap partai.Mereka juga sempat menyinggung soal bantuan partai sebesar Rp 80 juta yang selama ini penggunaanya tidak transparan."Kita akan lakukan penggembosan besar-besaran yakni jangan sampai memilih partai demokrat dalam pemilu nanti," ujarnya.Sedangkan Ketua PD Jember Saptono Yusuf saat dikonfirmasi melalui ponselnya tidak diaktifkan. Namun sejumlah pengurus mengatakan kalau Saptono sedang rapat bersama di kantor DPD PD Jawa Timur di Surabaya.Salah seorang pengurus DPC PD Jember wakil sekretaris Bidang pemuda Gus Joy Setiawan menyayangkan aksi massa yang dilakukan oleh puluhan kader partai. Apalagi sampai melakukan pembakaran dan menurunkan bendera serta papan nama Partai Demokrat."Itu kan aset partai, sayang sekali kalau dirusak," kata Gus Joyo Setiawan. Soal desakan mundur kepada Saptono Yusuf, ia mengatakan harus didasari secara kuat apa saja yang dianggap telah melakukan pelanggaran partai."Desakan mundur kan dilihat dulu. Kalau melanggar aturan tolong ditunjukkan yang mana, klo tidak ya tidak bisa. Jangan ngawur begitu," katanya.Ia juga menginginkan kalau ada sejumlah kader yang ingin menyampaikan aspirasinya maka harus disampaikan secara resmi melalui musyawarah dengan pengurus."Atas instruksi DPP, kalau ada ader yang ingin menyampaikan sesuatu, maka mesti kirim atau surat sharing. Atau kalau tidak, bisa mengajukan ajukan surat ke DPD atau DPP," katanya. (p juliatmoko)
Banjir Pasuruan Batalkan 4 Jadwal KA
JEMBER -- Banjir bandang melanda Pasuruan sejak Rabu (30/1) sekitar pukul 22.00 WIB menyebabkan 4 jadwal kereta api di PT KAI Daops terpaksa batal. Empat jadwal kereta api itu yakni kereta api Cantik, kereta api Sri Tanjung, kereta api Mutiara Siang dan kereta api Tawang Alun dan Logawa yang hanya sampai jalur Probolinggo saja karena sudah terlanjur berangkat. Selain itu kereta api jurusan dari Surabaya maupun Purwokerto juga tidak bisa menuju Jember dan Banyuwangi.Rel tergenang antara Bangil dan Pasuruan pada kilometer 58 + 7/0 dengan ketinggian air mencpai 25 sampai 60 centimeter. Sedangkan pada rel kilometer 59 + 0/1 ketinggian air mencapai lebih dari 50 centimeter. Selain itu rel antara Pasuruan dan Keraton pada kilometer 66 ketinggian air mencapai 20 centimeter dan air hingga saat kemarin dilaporkan sudah mulai menyusut. Akibat genangan air itu, rel kereta yang terdapat batuan kricak sempat terhanyut dan mengakibatkan beberapa meter rel nampak mengantung setinggi 50 centimeter."Sudah sejak tadi malam untuk jalan raya masih tergenang air dan kendaraan belum bisa lewat. Begitupula dengan kereta api dari dan menuju kota Jember," kata Kepala Pengawas PT KAI Daops IX Jember Eko Suminto, Kamis (31/1).Ia juga mengatakan saat air sudah benar-benar menyusut, maka pihak PT KAI Daops IX akan melakukan pengecekan untuk menghindari kerusakan rel yang akan dilewati kereta api. (p juliatmoko)
1 komentar:
Bencana, Perlu Political Will Pemerintah
Oleh; Ach. Faidy Suja’ie
Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo, kata inilah yang mampu mengambarkan kekayaan Indonesia. Selain kaya budaya, bahasa, agama dan adat istiadat, ternyata bumi pertiwi tercatat sebagai negara yang paling kaya bencana alam. Hal ini, disebabkan oleh posisi geologisnya sangat labil, Indonesia terletak pada daerah pertemuan tiga lempeng besar yang aktif, yaitu lempeng Pasifik, lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia.
Empat tahun terakhir merupakan tahun bencana bagi bangsa Indonesia, dimana rakyat Indonesia mengawalinya pergantian tahun ini dengan berbagai bencana alam yang melanda Indonesia (banjir, tanah longsor, maupun kecelakaan angkutan umum) yang hampir merata diseluruh pelosok tanah air, kondisi alam inilah yang memaksa masyarakat untuk berdesak-desakan diwilayah pengungsian, berjuang melawan ketidaknyamanan untuk mempertahankan hidupnya sambil menunggu bantuan yang akan diberikan oleh saudara-saudaranya dan kucuran dana dari pemerintah.
Dikantong-kantong pengungsian inilah mereka harus berperang dengan sekian gangguan kesehatan, karena terbatasnya bahan makanan yang dapat dikondumsi, lingkungan yang serba kotor dan kumuh, serta carut-marutnya lingkungan hidup mereka. tentunya hal itu memerlukan perhatian serius dari pemerintah untuk menanggulanginya dan menjadi tanggung jawab legislatif untuk mengontrol setiap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Berawal dari peristiwa tsunami diaceh yang menelan korban 310.000 jiwa, termasuk korban di negara – negara lain. Kemudian Banjir bandang di Jember, sebagai peristiwa pristiwa yang mengawali pergantian tahun 2006, disusul gempa di Jogja dan Jawa Tengah, meluapnya air laut dipantai Pangandaran dan sekitarnya. Tidak selesai disitu, pergantian tahun 2007 ke 2008 Indonesia kembali diterpa bencana banjir yang hampir terjadi setiap kota dan kabupaten di pulau. Hal ini terjadi sebagai balasan atas kecerobohan pelaku illegal loging dan legal loging, karena pada dasarnya, bajir bukan hanya disebabkan oleh tingginya curah hujan, akan tetapi lebih karena disebabkan oleh terjadinya salah urus alam oleh negara.
Ruang Kampanye
Analisis Erving Goffman, sosiolog ternama abad ke-20 tentang tingkah laku manusia, dia mengibaratkan prilaku manusia sebagai metafora teatrikal. Dimana lingkungan masyarakat menjelma menjadi sebuah panggung sandiwara dan orang-orang di dalamnya bertindak sebagai aktor dan aktris yang menyusun performa untuk memberi kesan baik pada yang lainnya.
Tampaknya analogi di atas sangat relevan untuk digunakan dalam melihat hiruk-pikuk yang terjadi di bumi nusantara selama negeri ini diguncang bencana alam yang berkepanjangan. Fenomena-fenomena ditempat-tempat pengunsingan ramai sekali orang berkunjung, mulai dari rakyat biasa sampai rakyat yang tidak biasa (wakil rakyat) (baca: ekesekutif dan legislatif). Kelompok pertama, masyarakat Indonesia seringkali menjadikan wilayah-wilayah bencana sebagai tempat rekreasi (bencana-tainment), mereka datang berbondong-bondong dengan keinginan menikmati nuansa alam pasca bencana. Kerena itulah, di beberapa tempat terjadinya bencana sering terjadi kecemburuan bagi korban bencana, mereka beranggapan telah ditempatkan sebagai tontonan masyarakat banyak.
Kelompok kedua, maraknya elit politik dan elit pemerintahan yang dating berkunjung ketempat-tempat bencana dengan seribu janji dan sejuta imeng-imeng bagi korban bencana, seolah-seolah mereka tampak murung dan sedih melihat penderitaan yang menimpa masyarakat korban bencana, nyatanya, semua itu dilakukan untuk membangun image dimasyarakat semata. Alih-alih ingin membantu, secara personal baik biorokrat maupun politisi dari level paling bawah sampai level paling atas, dengan dorongan ingin berkuasa (will to power) datang dengan janji, lalu setelah itu, selesai sudah.
Kelompok ketiga, Ormas dan Parpol dan LSM, terjadi bencana alam di seluruh pelosok negeri, mengundang perhatian banyak kalangan untuk memberikan bantuan, datanglah tenaga-tenaga sukarelawan dari berbagai instansi dan institusi, semua akan mafhum, bahwa kelompok ketiga inilah yang melakukan evakuasi korban, rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana alam, dan tidak dapat dipungkiri juga, bahwa bencana alam menjadi lahan basah bagi kelompok ini, untuk mengais lebih banyak lagi proyek yang akan mengalir pada mereka.
Ancaman Legitimasi
Oleh karena tidak didasari rasa tanggung jawab sebagai pemerintah yang secara de jure mempunyai kewajiban untuk melindungi masyarakatnya, termasuk perlindungan dari bencana alam, menurut logika, memang tidak mungkin menghentikan bencana dan menghalangi bencana sebagai rutinitas alamiah, akan tetapi bagi wilayah yang rawan bencana, seharusnya Indonesia tidak hanya melakukan evakuasi, rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap korban bencana alam. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan pada saat sebelum terjadinya bencana, usaha ini dapat memperkecil korban jiwa dan harta kekayaan. Sehingga pada saatnya masyarakat dengan sendirinya akan mencibir ketika menyambut datangnya rombongan pemerintah ke daerah bencana.
Akhirnya, benar apa yang dikatakan Micheal Foucault (1980) bahwa perlawanan telah menjadi bagian inheren dari imposisi kekuasaan. Penerapan kekuasaan selalu berbanding lurus dengan munculnya sejumlah kekerasan di masyarakat. Menghadapi kenyataan imposisi kekuasaan dan “teatrikal” penguasa para korban bencana alam akan melakukan perlawanan. Penjarahan, perampokan, merusak fasiltas umum, dan berlaku culas adalah serangkaian strategi perlawanan yang menentang dehumanisasi dan “teatrikal” elit politik dan kaum birokrat.
Untuk menghindari resistensi legitimasi pemerintah, paling tidak ada langkah kongkret dari pemerintah untuk membuat janji-janjinya menjadi nyata, dua hal yang ingin penulis sampaikan disini, Pertama, pencegahan bencana, mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam jauh lebih urgen dilakukan sebelum bencana alam terjadi. Kedua, korban bencana alam bukan kawula yang hanya dijadikan objek meraih kekuasaan politik semata, daerah bencana bukan tempat rekreasi serta tidak bijak dijadikan tempat mengais rizki. Oleh karena itu, wujudkan janji-janji pemerintah untuk memenuhi kebutuhan korban bencana alam di tempat pengungsian, realisasikan program rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana. Ketiga, political will pemerintah untuk menekan pengrusakan hutan, baik berupa illegal loging maupun legal loging jauh lebih penting dari dua hal diatas. Pasalnya, ketika alam lestari, maka bencana dapat ditekan pada titik paling minimal.
Akhirnya, bagaimanapun harus diakui, bahwa semua kelompok yang disebutkan diatas, merupakan pihak-pihak yang paling berjasa mengembalikan kondisi bangsa dan melakukan rekonstruksi daerah bencana alam, tanpa mereka, Indonesia tak ubahnya seperti “Tempat Pembuangan Akhir (TPA)”, karena setiap detik, sepanjang waktu selalu saja dilanda bencana dan bencana.
Ach. Faidy Suja’ie, Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Jember.
Posting Komentar