Jumat, 11 April 2008



Duka Lara Suami Isteri Penjaga Perlintasan KA
Selamatkan Ratusan Nyawa Tapi Honor Telat Dua Bulan

JEMBER - Menjadi penjaga perlintasan kereta api di daerah Baratan Kecamatan Patrang memang garis hidup yang samasekali tidak pernah terlintas dalam benak Suto (40). Suto yang juga warga Baratan ini awalnya hanya berdagang dengan membuka warung kecil-kecil dengan jualan kopi dan jajanan gorengan. Namun saat tidak ada orang yang bersedia menggantikan penjaga perlintasan sebelumnya, ia justru terpanggil hatinya untuk menjaga perlintasan kendaraan besi panjang bermuatan penumpang itu.
Pagi menjelang siang itu Suto nampak termangu. Betapa sedih saat dia mulai bertugas sekitar pukul 7 pagi mendengar kalau menjelang Subuh diperlintasan yang ia jaga ada kecelakaan. Sebuah mobil jip ditabrak kereta api Mutiar bagian belakang hingga kacanya pecah. Kabarnya saat itu si sopir jip itu tidak mengetahui kalau jalan yang dilewati ada perlintasan kereta. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan yang saat jam itu tidak ada orang untuk menjaga perlintasan mau yang menghubungkan lokasi wisata Rembangan dengan jalan raya Patrang itu."Untung mobil itu tidak remuk tertabrak. Saat itu kereta sempat berhenti saat mendengar brakkk ada mobil yang tersenggol," tutur Suto. Ia kemudian meratapi jangan-jangan kecelakaan itu akibat keteledoran dirinya karena tidak ada penjagaan perlintasan kereta api. Namun bayangan itu kemudian sirna bebarengan dengan pekerjaannya yang saat itu tengah mengelap setir alat perlintasan. Untuk menjaga perlintasan kereta itu Suto tidak sendirian. Ia sehari-hari menjaga perlintasn dengan istrinya yakni Parumah (35). Pekerjaan menyelamatkan ratusan bahkan ribuan nyawa di perlintasan maut itu ternyata tidak setimpal dengan imbalan yang dia dapat."Tidak seperti biasanya, gaji saya telat dua bulan. Padahal saya harus menyekolahkan anak saya yang SMP," kata bapak tiga puteri ini. Selama ini Suto mengaku kalau pekerjaannya itu digaji dari Dinas Perhubungan dan pihak warga setempat yang memberikan urunan sukarela. Honor yang dia dapatkan yakni sekitar Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu. Sebelumnya suami isteri ini juga dijanjikan dengan bekerja kontrak selama setahun dengan besar nominal Rp 2 juta. Honor awal saat itu masih Rp 100 ribu ikhlas ia terima, namun kini bayarannya sudah telat dua bulan. Tak ayal mereka mulai pontang-panting mencari pendapatan tambahan selain menjaga perlintasan kereta api."Kalau sebesar itu ya tiak cukup untuk makan. Makanya saya dan isteri saya bergantian jam saat menjaga perlintasan kereta ini, ya biar kecelakaan perlintasan tidak terus bertambah," harapnya.Dengan bayaran yang cekak itu, Suto dan isterinya tidak patah arang. Ia memilih bekerja sambilan seperti berjualan hasil kebun yakni durian atau rambutan disamping juga ngojek. Harapan untuk mendapatkan rezeki dari warung kopinya terpaksa tutup, karena selain harus fokus menjaga perlintasan, juga pendapatan yang dianggap masih kurang."Bayaran dari PTKA saja tidak ada mas, kita berharap pada dinas perhubungan agar gaji telat dua bulan ini cepat dibayarkan. Kami juga masih mengandalkan dari berdagang pisang atau rambutan agar perlintasan ini tetap terjaga," timpal Parumah. Parumah juga menyadari kalau bayaran yang mereka terima sedikit dan satu-satunya pekerjaan lain yakni ngojek dan bergantian jam jaga perlintasan. Duka lara Suto ternyata tidak berhenti disitu, untuk biaya perawatan perlatan perlintasan, ia mengaku terpaksa mengeluarkan duti dari kantong pribadinya. "Benar, saya lakukan ini ikhlas untuk menyelamatkan orang baik kereta maupun pengendara yang melintas perlintasan ini," ujarnya. (p juliatmoko)



Menyesakkan Dada, 10 Kali Berobat ke RSUD Jember, Pasien Gakin Ditolak Terus


JEMBER (SINDO)- Ironis. Instruksi Menteri Kesehatan Siti Fadillah terkait keharusan menerima pasien dari keluarga miskin (Gakin) untuk berobat ke rumah sakit umum daerah, ternyata tidak berlaku di Kabupaten Jember. Apalagi kini Jember tengah gencar-gencarnya membangun proyek mercusuar pengerangan jalan umum (PJU) senilai Rp 85 miliar. Itu terjadi pada pasien yang tergolong dari keluarga miskin pasangan Taifikurahmani (22) dan Rahma Musiwati (22) yang mengobatkan anaknya ke RSUD dr Subandi Jember. Anak pertama mereka bernama Galang Firmansyah umur 16 bulan harus merasakan sakit dan terpaksa hanya dirawat di rumahnya di Jalan Dr Wahidin Dusun Krajan Desa Kalisat Kecamatan Kalisat.
Ia menderita penyakit kepala yang terus membesar atau hedrocephalus."Sudah sepuluh kali ini saya minta berobat ke RSUD Subandi Jember. Namun ditolak, karena saya tidak mampu membayar biaya tambahan membeli alat operasi sebesar Rp 9 juta. Padahal saat itu saya sudah menunjukkan kartu miskin," kata Taufikurahman yang hanya memiliki pekerjaan
serabutan ini, kemarin.Ia menuturkan, anak laki-lakinya Galang Firmansyah itu diketahui sejak umur 3 bulan kata dokter Puskesmas Kalisat terkena penyakit kepala
yang terus membesar atau hedrocephalus. Apalagi pada hidung anaknya itu ada sejenis tumor yang mengahalangi saat Galang berusah bernapas. Tak ayal setiap malam atau hampir dua bulan sekali Galang merasakan panas demam yang sangat gawat. Dokter Puskesmas selalu menyarankan agar pasien Galang bisa dirujuk ke RSUD dr Subandi Jember. Namun usaha itu kandas.Akibat ditolaknya pengobatan ketika terakhir pada sekitar Desember lalu oleh rumah sakit itu, kini Galang hanya dirawat apa adanya dengan asupan air susu ibunya. Direktur RSUD dr Subandi Jember Chalid Bachtir menangkis tudingan kalau rumah sakit yang dipimpinnya itu menolak untuk menerima pasien dari keluarga miskin. "Ini ada bagian umum saya, pak Damanhuri. Tidak ada pasien miskin yang kami tolak, semua kami terima asal bisa menunjukkan surat berobat asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin," timpal Chalid Bachtir dengan nada emosi sambil meninggalkan wawancara dengan wartawan seolah
menghindar dari konfirmasi. Sedangkan Bagian Rekam Medik RSUD dr Subandi Jember dr Arif Setyoargo justru berjanji bahwa pasien Galang Firmasnyah tersebut akan diterima
ketika sudah menunjukkan surat miskin dan segera dibawa berobat ke rumah sakit lagi. "Tidak ada itu biaya tambahan Rp 9 juta, paling ada tambahan beli peralatan operasi sekitar Rp 900 ribu saja. Silahkan bawa lagi pasien itu," kata Arif Setyoargo. Sementara Wakil Direktur RSUD dr Subandi Jember dr Bagas Kumoro menjelaskan, dirinya juga membantah anggapan kalau rumah sakit telah melakukan penolakan rujuk bagi pasien warga miskin. Ia mengaku kondisi keuangan rumah sakit seolah dalam kondisi kritis karena adanya kendala tersendatnya klaim Askeskin secara nasional. Hal itu berimbas pada ketersediaan pembelian dan pengadaan obat bagi seluruh pasien."Bukannya kami tidak menerima pasien, tapi memang dalam aturan pedoman dan pelaksanaan Jamkesmas untuk sakit hedrochepalus memang tidak
menanggung biaya itu. Kita berharap agar ada dana pendamping dari APBD untuk menalangi belum turunnya klaim anggaran Askeskin," terang Bagas Kumoro. Ia juga manambahkan, untuk pasien warga miskin yang terkena penyakit hedrochepalus maka diharapankan ada tambahan dari dana pendamping untuk pembelian alat operasi semacam selang penyedot cairan dalam otak agar tidak menganggu sel otak kepala pasien.Ia juga menambahkan, sejak pada bulan Agustus hingga Desember tahun 2007 terusa terang klaim Askeskin belum cair. Sementara sejak Januari sampai April klain Jamkesmas kelihatannya juga belum cair dan nilainya bisa mencapai lebih dari Rp 4 miliar. (p juliatmoko)



Help !!! , Pesanggem Mengaku Diculik Perhutani

JEMBER - Masyarakat pengaggarap hutan atau pesanggem kini resah menyusul adanya penangkapan seorang pesanggem di kawasan hutan Desa Baban Silosanen Kecamatan Silo. Keluarga pesanggem yang mencoba mengadukan ke dewan bahkan mengakatakan penangkapan terhadap Atromo alias Yon Bin Asnawi (65) tidak sesuai prosedur dan merupakan kasus penculikan yang melibatkan polisi dan Perhutani.Istri korban Atromo Yon Bin Asnawi yakni Rusmiatun mengatakan, suaminya menghilang sejak Kamis (3/4) sore. Setelah pihak keluarg mencari kesana kemari masih belum ketemu. Sehari kemudian keluarga mencoba menanyakan ke Polsek Sempolan, ternyata justru suaminya sudah meringkuk disana. "Kami baru tahu pada hari Jumat (4/4) dan sudah ditahan polisi. Padahal suami saya tidak ada masalah dengan Perhutani. Memang sebelumnya pernah petugas Perhutani menginginkan menanam karet, namun kita menolaknya karena sudah dijanjikan bibit tanaman petai dan durian," kata Rusmiatun.
Dia juga mengaku suaminya sempat dipukul dengan topi oleh seorang aparat Perhutani untuk sekadar menakut-nakuti warga yang berada di hutan Baban Silosanen. "Pada 3 April lalu ada sekitar sepuluh orang, termasuk petugas Perhutani ke rumah kami. Tanpa permisi, mereka masuk ke kamar dan mengambil sejumlah kayu yang tidak dipilih-pilih, kayu itu termasuk yang busuk juga diambil. Selain itu juga ada pintu rumah dan kayu mindi yang ikut diambil," tuturnya.
Dalam berkas surat penangkapan oleh Polsek Sempolan nomor SP-Kap/19/IV/2008/SERSE tertanggal 3 April menyebutkan, Artomo yang ber-KTP warga Dusun Krajan DSesa Kalibarumanis Kecamatan Kalibaru Kabupaten Banyuwangi ini ditangkap karena berdasarkan bukti permulaan telah melakukan tindak pidana. Tindak itu berupa menggunakan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, menebang pohon atau memanen hasil hutan tanpa memiliki izin dari pejabat berwenang. Selain itu Artomo juga dianggap memiliki hasiul hutan yang diketahui patutu diduga dari kawasn hutan yang diambil secara tidak sah. Polsek Sempolan selanjutnya mengirimkan surat perintah penahanan bernomor SP-Han/19/IV/2008/SERSE tertanggal 4 April dan Atromo kemudian ditahan di Polsek Sempolan dengan tuduhan pasal 50, pasal 78 Undang-undang nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.Sedangkan pendamping keluarga Atromo dari Wakil Ketua Bidang Advokasi Forum Komuniksi LSM Jember, Anasrul mengatakan, soal surat penangkapan dan surat penahanan yang dilakukan Polsek Sempolan itu sebenarnya tidak sesuai prosedur."Penagkapan Atromo oleh polisi tidak sesuai prosedur yang ada. Apalagi masyarakat pesanggem manganggap penagkapan itu bukan penagkapan murni kirminalitas tapi diculik. Sebab pihak keluarga baru tahu pada Jumat (4/4) jam 3 sore. Saat kita minta konfirmasi dari penyidik Polsek Sempolan, ternyata anehnya mereka menerima tahanan itu merupakan titipan dari Perhutani dan menetapkan Artomo sebagai tersangka," terang Anasrul. Ia juga mengatakan, meski Artomo ber-KTP Banyuwangi, namun Artomo sudah tinggal di Desa Baban Silosanen Kecamatan Silo selam delapan tahun lebih. Sebelumnya ia juga mendampingi seorang warga dikawasan Desa Multorejo Kecamatan Silo karena penahanan di Lapas Jember yang dilakukan sepihak oleh aparat polisi. Anasrul juga menuturkan kalau warga pesanggem di Kecamatan Silo kini merasa terancam karena ditakut-takui dan diancam oleh oknum Perhutani yang berujung pada penangkapan.Saat dikonfrimasi, Kepala KPH Perhutani Jember Taufik Setyadi mengatakan, penangkapan Atromo itu bukanlah penculikan yang dilakukan secara sengaja untuk menakut-nakuti para pesanggem disana. Namun Taufik mengatakan kalau Artomo tertangkap basah oleh TNI dan polisi saat merusak bibit pohon milik Perhutani pada seminggu lalu. Perhutani menganggap Artomo telah merusak kekayaan aset negara berupa hutan lindung."Sebenarnya kami tidak melarang pesanggem menanam pohon buah, yang jelas komposisinya penanaman harus 80 persen pohon karet dan 20 persen pohon buah. Bibit karet berasal dari Perhutan dan untuk lahan per hektare ada 400 pohon, 320 pohon harus pohon karet dan 80 pohon buah," kata Taufik Setyadi.Ia juga mengatakan kalau pihak Perhutani selama ini sudah cukup lunak dan tanaman kopi milik warga tidak ada yang dirusak. Sebab untuk pemilihan pohon karet sebagi komoditas utama di kawasan hutan merupakan salah satu cara untuk menghindari gundulnya kawasan hutan."Produksi pohon karet hasilnya kan bisa diambil dalam waktu harian. Jadi kami sendiri tidak perlu bagian dan yang penting pohon di hutan dijaga agar tidak ditebang. Namun pohon buah kan sifatnya musiman, jadi pesanggem itu cuma ditipu," ungkapnya. (p juliatmoko)

Tidak ada komentar:

M Y P E O P L E

V i s i t o r

counter