Mengenal Kehidupan Pesanggem
Peringati Banjir Panti Dengan Makan Pakai Ancak
JEMBER- Banjir bandang yang melanda Kecamatan Panti dua tahun lalu masih diingat warga Jember. Bencana tragis itu menewaskan puluhan warga tidak berdosa. Setelah ditelisik, banjir diduga karena hutan gundul di pucak Pegunungan Argopuro.
Kemarin puluhan warga penjaga hutan atau dikenal dengan pesanggem di perkampungan Magersari Dusun Pakis Selatan Desa Panti Kecamatan Panti mengingatkan kembali bencana menyedihkan itu. Untuk sampai di perkampungan terpencil itu tidak semudah yang dibayangkan. Jalan terjal berupa bebatuan menghadang dalam perjalanan menuju lokasi di lereng selatan Pegunungan Hyang Argopuro. Disamping kiri tampak jurang dan beberapa
kilometer sudah kelihatan pegunungan. Disamping kanan tampak hutan yang gundul dan diganti dengan tanaman pisang serta jagung yang baru berumur tidak lebih setahun. Selain itu jalan yang menanjak dan menurun penuh lumpur licin selalu mengiringi tiap perjalanan. Tak ketinggalan lalu lalang para pesanggem sambil membawa hasil hutan seperti pisang dan jagung juga terlihat. Jalan terjal itu tak membuat para penumpang seperti naik kuda alias bergeronjal."Jalan disini memang dikenal licin dan jarang sekali orang lewat, kecuali pesanggem," kata Anang Supriadi salah satu petugas Polisi Hutan ketika menuju lokasi bersamaku, Selasa (8/1).Sedikitnya dua kali dalam perjalanan menumpang pikap milik polisi hutan mengalami selip. Terpaksa sekitar 9 penumpangnya harus turun dan
menarik mobil itu bersama-sama. Beruntung petugas membawa tali tampar sepanjang 10 meter untuk menarik mobil yang terjebak dalam kubangan lumpur licin itu. Dalam perjalanan sekitar satu jam itu akhirnya sampai dilokasi perkampungan Magersari. Dibawah naungan terpal warna oranye, puluhan warga pesanggem bersama petugas Perhutani Jember itu sudah siap untuk memanjatkan doa bagi keselamatan warga Panti dan kecamatan lain
yang rawan longsor. Sebelum itu ada obrolan membangun kesepakatan untuk mengajag agar hutan lindung di Pengunungan Argopuro tetap lestari.
Tidak ada sesajian mewah dalam peringatan dua tahun bencana banjir Panti itu. Warga pesanggem dengan jerih payah hasil kebun dan hutannya hanya menyiapkan nasi dan telor. Makanan sesajian itu dikemas dalam wadah pelepah daun pisang atau dikenal dalam bahasa Madura sebagai ancak. Wadah itu ada yang dibentuk persegi empat dan ada yang berbentuk segi enam. Untuk menyantap makanan pun tidak perlu sendok dan garpu. Cukup dengan tangan."Ya, beginilah kondisinya. Cukup sederhana untuk menyadarkan warga agar tidak menebang pohon sembarangan. Kita tidak ingin bencana serupa terjadi disini," ungkap M Arif salah stu pesanggem yang sudah lebih lima tahun ini menjaga dan mengelola hutan oindung dikawasan Pegunungan Argopuro.Ia juga mengatakan, para pesanggem itu sebenarnya orang yang tidak memiliki lahan dan kondisinya kepepet untuk mau mengelola lahan pertanian.
Pesanggem kebanyakan ada yang datang dari buruh perkebunan dan juga ada yang datang dari kecamatan lain di Jember. "Pesanggem tidak diperbolehkan untuk memiliki lahan secuil pun dari lahan hutan, kita hanya menjaga dan mengelola hasil buminya," katanya.Sedangkan Adminsitratur Kelompok Pemangku Hutan (KPH) Jember Taufik Setyadi mengatakan, dengan keberadaan pesanggem itu maka pembalakan hutan bisa dikurangi secara maksimal. Bahkan keberadaan mereka diwadahi dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Jumlah LMDH di Jember ada sekitar 49 buah yang tersebar di 31 kecamatan. Tidak ada intrik politik tertentu untuk menggunakan keberadaan hutan dan para pesanggem. "Sudah menjadi kesepakatan sampai tahun 2009 nanti hutan produksi tidak boleh dilakukan penebangan. itu untuk mencegah bencana dan menjaga kelestarian hutan," kata Taifik Setyadi.
Ia juga siap untuk berhadapan dengan siapapun ketika ada golongan tertentu akan memanfaatkan hutan dengan hanya untuk kepentingan politik."Kalau ada yang masuk hutan dengan atribut kepentingan politik, apalagi berkeinginan untuk memiliki lahan hutan, akan kita sikat," tandasnya. (p juliatmoko)
kilometer sudah kelihatan pegunungan. Disamping kanan tampak hutan yang gundul dan diganti dengan tanaman pisang serta jagung yang baru berumur tidak lebih setahun. Selain itu jalan yang menanjak dan menurun penuh lumpur licin selalu mengiringi tiap perjalanan. Tak ketinggalan lalu lalang para pesanggem sambil membawa hasil hutan seperti pisang dan jagung juga terlihat. Jalan terjal itu tak membuat para penumpang seperti naik kuda alias bergeronjal."Jalan disini memang dikenal licin dan jarang sekali orang lewat, kecuali pesanggem," kata Anang Supriadi salah satu petugas Polisi Hutan ketika menuju lokasi bersamaku, Selasa (8/1).Sedikitnya dua kali dalam perjalanan menumpang pikap milik polisi hutan mengalami selip. Terpaksa sekitar 9 penumpangnya harus turun dan
menarik mobil itu bersama-sama. Beruntung petugas membawa tali tampar sepanjang 10 meter untuk menarik mobil yang terjebak dalam kubangan lumpur licin itu. Dalam perjalanan sekitar satu jam itu akhirnya sampai dilokasi perkampungan Magersari. Dibawah naungan terpal warna oranye, puluhan warga pesanggem bersama petugas Perhutani Jember itu sudah siap untuk memanjatkan doa bagi keselamatan warga Panti dan kecamatan lain
yang rawan longsor. Sebelum itu ada obrolan membangun kesepakatan untuk mengajag agar hutan lindung di Pengunungan Argopuro tetap lestari.
Tidak ada sesajian mewah dalam peringatan dua tahun bencana banjir Panti itu. Warga pesanggem dengan jerih payah hasil kebun dan hutannya hanya menyiapkan nasi dan telor. Makanan sesajian itu dikemas dalam wadah pelepah daun pisang atau dikenal dalam bahasa Madura sebagai ancak. Wadah itu ada yang dibentuk persegi empat dan ada yang berbentuk segi enam. Untuk menyantap makanan pun tidak perlu sendok dan garpu. Cukup dengan tangan."Ya, beginilah kondisinya. Cukup sederhana untuk menyadarkan warga agar tidak menebang pohon sembarangan. Kita tidak ingin bencana serupa terjadi disini," ungkap M Arif salah stu pesanggem yang sudah lebih lima tahun ini menjaga dan mengelola hutan oindung dikawasan Pegunungan Argopuro.Ia juga mengatakan, para pesanggem itu sebenarnya orang yang tidak memiliki lahan dan kondisinya kepepet untuk mau mengelola lahan pertanian.
Pesanggem kebanyakan ada yang datang dari buruh perkebunan dan juga ada yang datang dari kecamatan lain di Jember. "Pesanggem tidak diperbolehkan untuk memiliki lahan secuil pun dari lahan hutan, kita hanya menjaga dan mengelola hasil buminya," katanya.Sedangkan Adminsitratur Kelompok Pemangku Hutan (KPH) Jember Taufik Setyadi mengatakan, dengan keberadaan pesanggem itu maka pembalakan hutan bisa dikurangi secara maksimal. Bahkan keberadaan mereka diwadahi dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Jumlah LMDH di Jember ada sekitar 49 buah yang tersebar di 31 kecamatan. Tidak ada intrik politik tertentu untuk menggunakan keberadaan hutan dan para pesanggem. "Sudah menjadi kesepakatan sampai tahun 2009 nanti hutan produksi tidak boleh dilakukan penebangan. itu untuk mencegah bencana dan menjaga kelestarian hutan," kata Taifik Setyadi.
Ia juga siap untuk berhadapan dengan siapapun ketika ada golongan tertentu akan memanfaatkan hutan dengan hanya untuk kepentingan politik."Kalau ada yang masuk hutan dengan atribut kepentingan politik, apalagi berkeinginan untuk memiliki lahan hutan, akan kita sikat," tandasnya. (p juliatmoko)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar